March 18, 2011

ISLAM TRANSFORMATIF


 Munculnya suatu pemikiran atau paradigma baru dalam ranah pemikiran keislaman, menandakan bahwa selain memperlihatkan adanya kedinamisan pemikir muslim dalam merespon kondisi kekinian, juga membuktikan bahwa ajaran Islam itu –meskipun sudah kaaffah- ternyata membutuhkan penyelarasan serta interpretasi baru akan ajaran dan nilai yang dikandungnya agar umat sebagai subjek dari ajaran tersebut mampu beradaptasi dengan realitas kekinian dimana pergesekan paradigma global, terutama yang berasal dari lingkungan barat, telah menyeret kaum muslimin untuk menerima tanpa reserve ide atau pemikiran barat yang nota bene banyak mengandung kontradiksi dengan ajarannya sendiri..
 
Wacana Islam Transformatif sendiri di Indonesia baru menggelinding dilingkungan terbatas saja, selain faktor kurang tersosialisasi dengan masif juga yang terpenting adalah dikarenakan definisi serta konsepsi tentang Islam Transformatif sendiri belum tergali secara komprehensif. Sehingga wacana ini belum bisa diterima dibeberapa kalangan karena dinilai memiliki beberapa kelemahan baik dari sisi terminologis maupun epistimologisnya.
 
Corak islam transformative adalah memberikan interpretasi atas ide atau pemikirannya itu sebagai sebuah upaya mentransformasikan ajaran-ajaran Islam dari posisinya yang normatif menjadi suatu ajaran yang praxis, serta yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai yang sifatnya normatif tersebut bisa menggerakkan atau memobilisasi ummat sebagai pengikut ajaran tersebut memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Tentunya Islam Transformatif lebih menitik beratkan pada tataran Movement ketimbang sisi-sisi rutinitas religius. Menurutnya kelemahan sebagian besar umat Islam adalah dalam membuat parameter kesalehan, baik kesalehan dihadapan manusia maupun tuhannya sendiri. Umat Islam terjebak pada kesalehan simbolis, sedangkan nilai substansial dari hal yang simbolik tersebut malah kurang teraktualisasikan. Sebagai contoh sederhana kesalehan simbolik adalah ketika seseorang taat dan selalu mengerjakan shalat lima waktu, puasa sunat senin kamis, mengeluarkan zakat hartanya sesuai dengan nisab, dan bentuk-bentuk lain, dianggap merupakan orang saleh dan suci. Padahal menurut Islam Transformatif adalah ketika seseorang secara sadar dan tahu apa nilai substansial dari rutinitas religius itu dan ia mampu menerjemahkannya dalam bentuk-bentuk lain yang realistis dan relevan dengan fenomena permasalahan manusia dewasa ini, maka itulah sebetulnya yang diharapkan dari ajaran Islam. Sebagai contoh rutinitas religius yang sering dilakukan umat Islam adalah shalat lima waktu, Islam mengajarkan bahwa shalat itu pada intinya (substansinya) adalah perbuatan yang akan senantiasa melakukan pencegahan terhadap perbuatan phasyad dan munkar. Jika seorang muslim mampu menegakkan hal tersebut maka sebetulnya dia telah menjalankan inti ajaran Islam dan orang tersebut bisa dikatakan sebagai orang saleh, tapi bila kemunkaran yang ada dihadapannya belum mampu dia cegah dan dia berantas maka sia-sia lah ibadah tersebut.
 
Banyak hal sebetulnya yang dibahas dan dianjurkan untuk dilakukan oleh paradigma Islam Transformatif ini, namun yang terpenting adalah bagaimana seorang muslim mampu merespon realitas sosial lingkungannya serta mampu membawa perubahan sosial seperti yang dianjurkan oleh Islam, dimana nilai-nilai keadilan sosial benar-benar mampu ditegakkan dan dirasakan oleh manusia disekelilingnya.


Sejarah Gerakan Mahasiswa


Diskursus tentang peranan dan kontribusi gerakan mahasiswa (student movement) dalam proses pendewasan bangsa ini sudah lama menjadi isu sentral dalam berbagai kesempatan. Banyak sekali forum-forum diskusi diadakan untuk memperbincangkan tema tersebut. Ada yang mengapresiasi dan ada pula yang menghujat. Selama ini, gerakan mahasiswa selalau aktif, terutama kepeduliannya dalam merespon setiap persoalan sosial-politik yang terjadi dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Terlebih lagi ketika terjadi praktik-praktik ketidak-adilan, ketimpangan sosial, pembodohan, dan penindasan terhadap hak-hak rakyat yang sudah tidak dapat ditolelir. 
Sekalipun peran gerakan mahasiswa belum menjadi kekuatan transformasional secara konfrehensif, namun lacakan sejarah nasional di Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada satu perubahan pun yang tidak melibatkan kekuatan mahasiswa. Mahasiswa telah menjadi salah satu ikon perubahan penting dalam sejarah sosial masyarakat, maka tidak berlebihan jika mahasiswa diberi gelar “agent of social change”. Ini menegaskan bahwa gerakan mahasiswa telah terbukti menjadi katalisator yang tidak dapat disepelekan bagi penciptaan gerakan rakyat yang masif dalam menentang penguasa yang tiran dan otoriter.
Hanya saja harus diakui, fakta sejarah di atas sama sekali berbeda dengan realitas yang kita hadapi sekarang. Dewasa ini gerakan mahasiswa tengah mengalami involusi gerakan, sebagai akibat dari pertarungan kepentingan politik pragmatis dan tidak terkonsolidasikannya gerakan mahasiswa dalam mengawal proses transisi demokrasi pasca gerakan reformasi 1998. Tidak heran kalau fenomena ini dibaca sebagai kemerosotan atau “kematian” gerakan mahasiswa (the death of student movement) di Indonesia. Bahkan gerakan mahasiswa yang sebelumnya sempat bersatu melawan rezim otoritarianisme Soeharto, sekarang pun mengalami polarisasi gerakan yang luar biasa. Implikasinya gerakan ini menjadi terpecah-pecah, kehilangan arah dan ketidak-siapaan untuk merespon isu-isu aktual sehingga tidak mampu menemukan reformulasi baru dalam mengawal transisi demokrasi dewasa ini.
Kondisi ini diperparah dengan masuknya gerakan mahasiswa pada ruang-ruang politik praktis (syahwat politik kaum muda), yang “membunuh” idealisme mahasiwa dan mengarah pada materialisme. Seperti tuntutan untuk menjatuhkan presiden dan mengusung nama calon presiden dengan isu-isu tertentu yang sangat kental dengan nuansa politik praktisnya ketimbang gerakan moral, tanpa sebuah rasionalisasi politik yang nyata. Gerakan semacam ini bukan sepenuhnya keliru, tetapi kita sudah sepakat bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral. Maka gerakan mahasiswa harus tetap konsisten dengan jargon dan idealisme yang diusungnya.
Menempatkan isu politik praktis sebagai basis gerakan akan menjadikan solidaritas gerakan mahasiswa menjadi luntur dan terpecah-pecah. Maka dari itu, gerakan mahasiswa harus kembali pada khitahnya sebagai gerakan moral yang rasional. Jangan sampai gerakan mahasiswa terkooptasi oleh kelompok atau partai politik tertentu. Sebab kalau itu yang terjadi, berarti gerakan mahasiswa telah menggali “kuburnya” sendiri. Tidak ada lagi orang yang percaya dengan gerakan mahasiswa.
Dengan mengambil inspirasi dari sana, maka mahasiswa dapat memulai langkah-langkah sebagai berikut: pertama, melakukan kajian kritis-reflektif terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan. Mereka hendaknya bukan hanya menangkap gejala permukaan, namun lebih pada penyingkapan sesuatu dibalik fenomena. Karena disanalah sebenarnya letak air laut yang nanti harus direkayasa, sementara fenomena hanya ombak dan riak.
Kedua, kekuatan-kekuatan sosial yang sudah tersadarkan harus segera dikonsolidasikan memalui sebuah pengorganisasian yang rapi dan solid. Membangun jaringan dalam konteks ini adalah sebuah keniscayaan. Gerakan mahasiswa jangan sampai megeksklusifkan diri, memisahkan dari elemen sosial lain seperti buruh, petani, pers, organisasi masyarakat maupun LSM. Ketiga, energi masyarakat yang sudah tersadarkan dan terorganisasi dengan baik itu dimuntahkan melalui kerja-kerja sosial yang diinginkan. Tidak harus diorientasikan pada dekonstruksi rezim, namun jika ternyata rezim itu menjadi bukit terjal yang sulit ditapaki, maka tidak ada jalan lain kecuali harus diruntuhkan.
Keempat, sudah saatnya melupakan perbedaan-perbedaan yang terjadi antara organisasi gerakan mahasiswa, yaitu dengan mencari kesamaan-kesamaan persepsi maupun aksi yang memungkinkan untuk bisa berjalan bersama. Karena semua gerakan mahasiswa apapun bentuknya pasti menolak segala bentuk otoritarianisme, penindasan, ketidak-adailan, dan pembodohan yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan (policy maker). Lantas kenapa harus terus berbeda?!
Perlu diingat disini, bahwa gerakan mahasiswa tidak hanya gerakan untuk terjadinya pergantian rezim. Gerakan mahasiswa juga memiliki visi transformasi kerakyatan dan terus menekankan pada aksi “massa” organisasi petani, buruh, kaum miskin kota dan terus menghindari elite politik. Realita ini seharusnya menjadi sugesti bagi mahasiswa untuk tetap memposisikan diri dalam perjuangan dan pembelaan terhadap masyarakat yang tidak diuntungkan oleh sistem yang berlaku, masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan (kaum mustadz’afin) yang tidak dapat berbuat apa-apa untuk membebaskan diri dari ketertindasan tersebut.

Student Government

Bagi mereka yang hanya bisa berpikir secara hitam dan putih, peran subjektif (individu) dan peran objektif di dalam perkembangan sosial adalah dua hal yang kontradiktif. Dalam satu pihak adalah mereka yang menekankan peran subjektif di dalam sejarah, yang nota-bene berkesimpulan bahwa sejarah dibuat dan dibentuk oleh orang-orang yang hebat; bahwa Leninlah (atau dengan Trotsky, dan lain-lain) satu-satunya orang yang bertanggungjawab atas Revolusi Oktober dan kemerosotannya; bahwa Hitlerlah yang mengakibatkan Perang Dunia kedua; bahwa Bushlah yang menyebabkan perang di Irak; bahwa massa dan kondisi objektif (kondisi ekonomi, relasi sosial, dan lain-lain) tidak memainkan peran sama sekali di dalam sejarah.
Di pihak yang lain adalah mereka yang menyangkal peran individu, mereka yang mengangkat setinggi-tingginya sifat manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan, atau mereka yang menempatkan kondisi objektif di atas segala-segalanya. Dan sebagai akibatnya, mereka melihat semua peran subjektif sebagai bentuk pengkultusan individu, sebagai sebuah ilusi yang disebarkan oleh elit-elit pemikir. Di antara kedua pihak tersebut adalah mereka yang kebingungan, yang karena kedangkalan mereka berayun dari satu pihak (peran subjektif) ke pihak yang lain (peran objektif). Di balik kebingungan mereka akan perkembangan sejarah, mereka menemukan ‘kompromi’ atau ‘solusi’ terhadap masalah peran objektif dan subjektif di dalam sejarah, dengan mengklaim bahwa ada saatnya peran subjektif itu penting dan pada saat lainnya peran objektif yang menjadi penting.
Ide-ide tersebut di atas adalah ide-ide yang menyesatkan di dalam gerakan sosial. Dari sebuah ide atau pemahaman mengenai perkembangan sosial, lahirlah sebuah strategi dalam pergerakan sosial. Maka dari itu, sebuah ide yang keliru akan menghasilkan strategi yang keliru juga. Penekanan konsepsi peran subjektif melahirkan sebuah strategi bahwa tidak diperlukan sebuah organisasi untuk merubah masyarakat, cukup dengan beberapa orang saja yang hebat; atau sebuah strategi bahwa organisasi yang dibentuk tidak perlu mempunyai hubungan dengan kelas masyarakat yang diwakilinya. Di pihak yang lain, penekanan konsepsi peran objektif melahirkan sebuah strategi bahwa semua gerakan sosial adalah spontanitas, maka dari itu individu-individu aktivis tidak perlu secara sadar melakukan agitasi atau membentuk organisasi; bahwa organisasi massa akan terbentuk sendirinya, bahwa program-program organisasi tersebut adalah hasil reaksi spontanitas. Dan untuk mereka yang kebingungan, mereka hanya akan berayun-ayun tanpa kepastian sampai tiba saatnya dimana mereka terhempas oleh arus sejarah.
Peranan individu dan pengkultusan yang berlebihan akan memotong sirkulasi gerakan social yang sustainable. Benar bahwa terdapat kepemimpinan cultural yang akan mampu mendorong proses perubahan dan melakukan agenda agitasi dan propaganda dalam membentuk kekuatan-kekuatan revolusioner. Namun terdapat kebutuhan mendesak agar agenda besar tersebut dapat ditransformasikan dalam bentuk organisasi yang massif. Student government merupakan upaya dalam menciptakan kondisi objektif bagi perubahan social yang diawali langkah pasti.
Selanjutnya, kita akan meneropong lebih jauh mengenai konsep ‘Student Government’. Pertama perlu diingat, bahwa pemerintahan kita maknai lazimnya sebagai organisasi yang mampu menyelenggarakan hajat hidup basis konstituennya. Sedangkan ‘Pemerintahan Mahasiswa’ sejatinya tidak pernah melakukan fungsi-fungsi demikian. ‘Pemerintahan Mahasiswa’ hanya melakukan fungsi-fungsi perlindungan, pendampingan atau advokasi terhadap kepentingan anggota-anggotanya, yakni mahasiswa. Penyelenggaraan hajat hidup mahasiswa secara keseluruhan lebih diperankan oleh fakultas atau universitas sebagai penyelenggara pendidikan. Jadi, kata ‘pemerintahan’ lebih tepat diarahkan pada dua organisasi besar itu, universitas atau fakultas sebagai sub organisasinya.

March 17, 2011

LocalCooling

 Tahukah kalian jika komputer yang anda gunakan saat ini adalah salah satu yang memberikan peranan cukup penting penyebab terjadinya pemanasan global, mereka(kompie) menyumbang panas dan juga menghabiskan power dalam jumlah besar, yang dampaknya adalah konsumsi energi jadi bertambah banyak, nah ada suatu software yang cukup unik, yaitu berusaha meminimalisir atau mereduce panas dan konsumsi energi dari sebuah computer, namanya local cooling, walaupun tidak terlalu signifikan perubahan sebelum dan setelah menggunakan software ini, namun akan lebih baik jika mengurangi walaupun sedikit demi bumi tercinta ini, bukan?? jadi software ini mudah-mudahan menjadi manfaat bagi anda dan bumi serta komputer anda pun akan sedikit menjadi lebih awet juga terjaga performanya,


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...