Pendidikan Islam
menurut Fazlur Rahman bukan sekedar perlengkapan dan peralatan fisik atau kuasi
fisik pengajaran seperi buku-buku yang di ajarkan ataupun struktur eksternal
pendidikan, melainkan sebagai intelektualisme Islam karena baginya hal inilah
yang di maksud dengan esensi pendidikan tinggi Islam. Hal ini merupakan
pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai, dan yang harus
memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah pendidikan
Islam.[1]
Pendidikan Islam
dapat mencakup dua pengertian besar. Pertama, pendidikan Islam dalam pengertian
praktis, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dunia Islam seperti yang
dilaksanakan di Pakistan, Mesir, Sudan, Saudi, Iran, Turki, Maroko, dan
sebagainya, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk konteks
Indonesia, meliputi pendidikan di pesantren, di madrasah, (mulai dari
ibtidaiyah sampai aliyah), dan di perguruan tinggi Islam, bahkan bisa juga
pendidikan agama Islam di sekolah (sejak dari dasar sampai lanjutan atas) dan
pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum.[2]
Kedua, pendidikan tinggi Islam yang di sebut dengan intlektualisme Islam.[3]
Lebih dari itu, pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman dapat juga difahami
sebagai proses untuk menghasilkan mausia (Ilmuwan) integratif, dinamis,
inovatif, progresif, adil, jujur, dan sebagainya. Ilmuwan yang demikian itu
diharapkan dapat memberikan alternatif solusi atas problem-problem yang
dihadapi oleh umat manusia.
Dengan
mendasarkan pada al-Qur’an, tujuan pendidikan menurut Fazlur Rahman adalah
untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang
diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang
memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat
manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.[4]
Pendidikan Islam
mulai abad pertengahan, menurut Fazlur Rahman, dilaksanakan dengan mekanis.
Oleh karena itu, pendidikan Islam lebih cenderung pada aspek kognitif dari pada
aspek efektif dan psikomotor. Strategi pendidikan Islam yang ada sekarang,
menurut Rahman, bersifat defenisif,
yaitu untuk menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang di
timbulkan oleh dampak gagasan-gagasan
barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, trutama gagasan-gagasan yang
akan mengancam akan rusaknya standar-standar moralitas tradisional Islam.[5]
Pendidikan Islam
menghadapi problem. Dalam artikelnya yang berjudul “The Qur’anic Solution of Pakistan’s
Education Problems” di sebutkan problem-problem pendidikan meliputi problem
idiologis, dualism, dalam sistem pendidikan, bahasa, dan problem metode
pembelajaran.
Mengenai
problem pertama menjelaskan, Orang-orang Islam mempunyai problem idiologis.
Mereka tidak mengkaitkan secara efektif pentingnya pengetahuan dengan orentasi
idiologinya. Akibatnya, masarakat muslim tidak di dorong untuk belajar.
Tampaknya, mereka tidak mempunyai tujuan hidup. Secara umum, terhadap kegagalan
dalam mengkaitkan prestasi pendidikan umat Islam dengan amanah idiologi mereka.
Masyarakat tidak sadar bahwa mereka berada di bawah perintah moral kewajiban Islam
untuk menuntut ilmu pengetahuan.[6]
Mengenai
problem kedua menjelaskan. Yang terkait erat dengan pertama adalah bencana
besar umat Islam dengan adanya dualisme, dikotomi dalam sistem pendidikan. Pada
satu sisi disebut dengan sistem pendidikan “ulama” yang dilaksanakan
dimadrasah. Begitu tertinggal sehingga sekarang hasilnya betul-betul
mengecewakan. Produk dari sistem ini, menurut
Rahman, tidak dapat hidup didunia modern dan tidak bisa mengikuti perkembangan
zaman. Kurikulum dan silabinya harus diubah secara radikal dan mendasar agar
dapat bersaing dalam kehidupan modern. Prinsip-prinsip dasar ilmu sosial, world view sain modern dan pengantar
sejarah dunia, bersama-sama dengan ilmu-ilmu humaniora modern, harus dimasukkan
pada silabi untuk menambah disiplin-disiplin sepesialis agama. Namun, penting
juga dipahami tentang kenyataan bahwa sistem pendidikan modern masyarakat Islam
yang dilaksanakan diuniversitas-universitas telah berkembang sama sekali tanpa
menyentuh idiologi dan nilai-nilai sosial serta budaya Islam. Mahasiswa tidak
terinspirasi sama sekali dengan cita-cita yang mulia. Hasil tragisnya adalah
bahwa standar pendidikan kita memburuk dan, dibawah pengaruh secara tiba-tiba
dari perkembangan ekonomi, bahkan dasar minimal dari rasa jujur dan tanggung
jawab tidak muncul. Maka, kedua sistem pendidikan ini tersakiti oleh
bentuk-bentuk fragmentasi yang paling jelek. Hal inilah yang menuntut perhatian
segera.[7]
Lebih lanjut Fazlur
Rahman menjelaskan akibat dari kondisi ini, yakni pencarian pengetahuan umat Islam
secara umum sia-sia, pasif dan tidak kreatif. Sistem madrasah yang tidak asli
dan kreatif itu menjadi paten. Namun sayang, sistem pendidikan modern di dunia Islam
pun juga begitu. Sekarang umat Islam sedang berda pada abad pendidikan modern,
dan cara belajar mereka belum mampu menambah nilai orisinalitas dan investasi
nilai ilmu pengetahuan kemanusiaan. Terutama pada ilmu humaniora dan ilmu-ilmu
sosial, kualitas sarjana muslim betul-betul rendah. Jika umat Islam tidak
menghasilka pemikir yang berkualitas bagus dalam humaniora dan ilmu-ilmu
sosial, mereka tidak dapat berharap mampu memberikan kontribusi yang berharga
sekalipun pada ilmu-ilmu murni. Karena itu, ilmu-ilmu murni tidak dapat di
tanamkan pada ruangan kosong dan terpisah dari ilmu-ilmu yang lain.[8]
Mengenai
problem ketiga, Rahman menjelaskan terkait dengan itu ada problem lain yang
sama pentingnya, yaitu problem bahasa. Problem bahasa selalu terkait dengan pendidikan
tinggi dan pemikiran. Kita ini di ibaratkan sebagai masarakat muslim tanpa
bahasa. Pada hal konsep-konsep murni tidak pernah muncul dalam pikiran kecuali
di lahirkan dengan kata-kata (bahasa). Jika tidak ada kata-kata (karena tidak
ada bahasa yang memadai ), konsep-konsep yang bermutu tidak akan muncul.
Akibatnya, peniruan dan pengulangan seperti halnya burung beo adalah bukan
pemikiran orisinal. Kontraversi bahasa yang sering di kemukakan, hendaknya di
pisahkan dari emosionalisme politik, dan umat Islam sekarang harus
mengembangkan satu bahasa secara memadai dan cepat karena mereka berpacu dengan
waktu. Kemajuan dunia tidak akan berhenti menanti mereka, dan tidak memiliki
alas an husus untuk memalumi ketinggalan mereka.[9]
Lebih lanjut Rahman
memberikan contoh khusus di Pakistan, yakni jika umat Islam di Pakistan tetap
bertujuan sebagai satu bangsa, mereka tertentut untuk memiliki satu bahasa.
Begitu memiliki keputusan satu bahasa itu, mereka harus mengembagkannya dengan
baik dan tanpa membuang waktu dengan sia-sia. Kemudian, mereka mewajibkan diri
mereka sendiri untuk berfikir, menulis, dan membaca dengan bahasa itu. Rahman
mengakui bahwa, selama ini, ia mempunyai pikiran yang berharga di tulis dalam
bahasa inggris. Akan tetapi, sebagai seorang nasionalis, sampai sekarang ia
masih menganggap bahasa inggris sebagai bahas asing.walaupun demikian, mereka
juga belum belum dapat mengembangkan bahasa urdu maupun bahasa Bengali yang
semestinya secara tulus dan mendesak kedua bahasa itu pantas di kembangkan.
Kedua bahasa itu mempunyai sejarah dan sasrta dan tentu saja mempunyai potensi
untuk berkembang yaitu bahas urdu mempunyai kelebihan terkait erat dengan
tradisi masa lalu mereka.akan tetapi, isu bahasa itu sayngnya menjadi subjek
perdebatan emosional politis. Ketika mereka berdebat, pikran mereka tentu saja
membusuk padahal seharusnya mereka menjdi pemikir yang bermutu dan kreatif.
Peniruan
terma-terma dan prase-prase bagikan burung beo masih menjadi dasar metodologi
pendidikan Islam sebagai konsekwensi logis dari ketidak punyaan bahasa yang
mampu mengekspresikan proses pemikiran yang kokoh. Sayangnya, sebagian mereka
berasal dari warisan sistem pendidikan madrasah. Selam beberapa abad lalu,
pendidikan madrasah cendrung berkonsentrasi pada buku-buku dari pada subjek.
Anak-anak di ajari belajar dengan menghafal, bukan menolah pikiran secara
kreatif. Sehubungan dengan praktik ini, pertumbuhan konsep akan menjadi rusak.
Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang kreatif, melainkan sesuatu yang di
peroleh. Hal-hal “ada”, baik di dalam buku-buku maupun pada pikiran pikiran
guru telah di peroleh dan tersimpan lama. Inilah yang di sebut ”ilmu”. Telah
banyak di tunjukan bahwa konsep ini secara diametris bertentangan dengan
pandangan pengetahuan sebagai sesuatu pertumbuhan yang terus menerus di anjurkan
oleh Al-Qur’an. Tragedi itu terjadi juga pada lembaga-lembaga pendidikan modern
Islam, yaitu belajar dengan menghafal secara besar-besaran di peraktikan dan
pengajaran buku-buku teks serta pelaksanaan ujian secara terus menerus
memperihatinkan.[10]
Dari uraian di
atas Rahman memberi gambaran pendidikan di lingkungan umat Islam pada era abad
pertengahan dan pra modern sebagai berikut, kelemahan pokok yang di rasakan
dalam proses pembelajaran di linkungan masarakat muslim pada abad pertengahan,
juga pada masa pra modern, adalah konsepsi mereka tentang pengetahuan (knowledge). Bertolak belakang dengan
sikap dan cara berfikir keilmuan era modern, mereka memandang bahwa pengetahuan
sebagai sesuatu yang pada dasarnya harus di cari dan di temukan atau di bangun
secara sitematis oleh akal pikiran manusia sendiri. Dengan mengandalkan peran
akal pikiran manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sikap keilmuan abad
pertengahan menekankan kenyataan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang “yang di
peroleh”. Sikap dan posisi akal pikiran lebih bersifat pasif dan reseptif dari
pada bersifat kreatif dan positif. Di dunia muslim, konsepsi dan mentalitas
cara berfikir yang bertolak belakang ini menjadi lebih akut lagi lantaran karna
adanya bentuk ilmu pengetahuan yang di transmisikan begitu saja atau juga
sering di sebut pengetahuan “tradisional” yang di dasarkan pada penukilan dan
pendengaran di satu pihak, konsep pengetahuan yang bersifat “rational” dilain
pihak.[11]
Di samping
itu, Rahman mengutip apa yang dikatakan oleh Sibli nu’mani dan Muhamad Abduh.
Menurut nu’mani, para mahasiswa yang telah lama belajar di Dar al-ulum Cairo,
telah dikenalkan pada sistem pendidikan barat modern. Meskipun pemikiran mereka
tetap tidak dapat mengintregasikannya. Abduh menyesalkan hal yang sama di
Al-Azhar Cairo. Dilemma ini menjadi ciri utama pendidikan di dunia Islam yang
mengembangkan pendidikan tradisional dengan mengadopsi sistem pendidikan barat
modern. Setiap upaya untuk menghilangkan dikotomi ini dan memadukannya secra
murni tidak pernah dapat mendatangkan hasil sebagaimana yang di harapkan.[12]
Rahman juga menjelaskan bahwa sekarang siswa-siswa yang tertarik pada
pendidikan Islam hanya mereka yang tidak di terima pada bidang-bidang yang
basah.[13]
Setelah kita
mengetahui pemikiran Rahman, dapat di ketahui bahawa Rahman adalah tokoh yang
pemikirannya di kategorikan sebagai neo modernisme Islam. Pola pemikiran yang
menggabungkan dua factor penting, yakni modernism dan tradisionalisme.
Modernisme menurut Rahman bukanlah suatu yang harus di tolak, melainkan dengan
modernisme bukan pula berarti alam pemikiran tradisionalisme harus di
kesampingkan. Dalam beberapa hal, bahkan kedua alam pemikiran ini bisa bisa
berjalan seiring.
Referensi
[1]
Fazlur Rahman,Islam and Modernity:
Trasformational of an Intlektual Tradition, The University of Chicago
press, Chicago, 1982, hlm. 1. Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem
Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 2006) hlm. 170
[2]
Untuk pengertian pendidikan semacam ini jelas sekali pada karya-karyanya,
seperti dalam buku Islam halaman 181-192, dalam buku Islam and modernity:
transformation of and intelektual tradition, dan dalam artikel yang berjudul
“the Qur’anic solution of Pakistan’s educational problems”
[3]
Untuk pengertian seperti ini dapat pula di lihat pada buku Islam and Modernity: Transformation of an Inteletual Tradition, terutama hlm. 151-162. Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode,
Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I.,
2006) hlm. 170
[4]
Fazlur Rahman untuk pengertian ini dapat pula di lihat pada buku Islam and modernity : Transformation of an
Intelektual Tradition, terutama hlm. 151-162 Dalam Sutrisno, ibid hlm. 171
[5]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity hlm.
86 Dalam Sutrisno, ibid hlm. 171
[6]
Fazlur Rahman The Qur’anic solution,hlm.
320-321 Dalam Sutrisno, ibid hlm. 173
[7] Ibid. Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode,
Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I.,
2006) hlm. 174
[8] Ibid. Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode,
Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I.,
2006) hlm. 174
[9] Ibid. hlm. 32 Dalam Sutrisno, ibid
hlm. 175
[10]
Ibid hlm. 322-323 Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman;
Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Cet. I., 2006) hlm. 176
[11]
Fazlur Rahman Islam hlm.191 Dalam
Sutrisno, ibid hlm. 177
[12]
Fazlur Rahman, Islam and Modernity,hlm.
130. Dalam Sutrisno, ibid hlm. 177
[13] Ibid. hlm. 139. Dalam Sutrisno,ibid hlm. 177
No comments:
Post a Comment