Showing posts with label PENDIDIKAN. Show all posts
Showing posts with label PENDIDIKAN. Show all posts

November 17, 2013

Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Nurcholish Madjid


Seperti yang kita ketahui, pendidikan Islam bertujuan unuk mencapai tujuan akhir. Tujuan akhir pendidikan Islam yaitu terwujudnya kepribadian muslim. Yaitu kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya merealisasikan atau mencerminkan ajaran Islam. Menurut Drs. Ahmad D. Marimba, aspek-aspek kepribadian itu dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu : Aspek kejasmanian, aspek kejiwaan dan aspek kerohanian. [1]Aspek kepribadian tersebut dinyatakan o;eh Nurcholish Madjid pada tawhid sebagai pokok ajaran Islam.
Tawhid sebagai pokok ajaran Islam ialah sikap pasrah kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa sikap pasrah itu suatu keyakinan keagamaan akan tidak memiliki kesejatian. Maka agama yang benar di sisi Tuhan Yang Maha Esa ialah sikap pasrah yang tulus kepada-Nya itu, yaitu dalam istilah al-Qur’an, al-Islam.[2]
Pendidikan menurut Nurcholish Madjid diarahkan pada sikap pasrah kepada Allah. Dari sikap pasrah kepada Allah, manusia secara pribadi diajarkan bahwa segala kehidupan berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Dan semua yang diberikan oleh Tuhan merupakan suatu amanat yang nantinya akan dimintai pertanggung jawabannya secara pribadi dihadapan-Nya.
Setiap pribadi harus menyadari bahwa tidak ada sedikit pun kemungkinan baginya mendelegasikan pertanggung jawaban itu kepada orang lain, termasuk kepada orang tua, anak, kawan, dan pemimpin. Ini merupakan pangkal makna kemasyrakatan keyakinan agama atau iman. Sebab sikap pribadi yang penuh tangung jawab kepada Allah akakn dengan sendirinya melimpah dan mewujud nyata dalam sikap penuh tanggung jawab sesama manusia atau masyarakat, bahkan kepada seluruh makhluk.[3]
Dari sikap pasrah yang tulus kepada Allah tersebut menghasilkan salam yang berartikan kedamaian. Sikap salam merupakan kelanjutan sikap rela (ridlo) kepada Allah atas segala keputusan-Nya yang telah terjadi pada hisup kita, hamba-Nya, serta kelanjutan sikap bersandar (tawaqul, “tawakal) kepada-Nya atas usaha dan ikhtiar kita untuk kehidupan di masa mendatang. Dengan sikap rela kepada Allah itu maka kedamaian atau salam itu menjadi sempurna.[4]
Sikap salam di atas dalam makna kemasyarakatan bertumpu pada pembinaan kesentosaan (salamah) jiwa pribadi. Sebagai pusat atau inti kepribadian seseorang, jiwa dengan segala kualitas yang dipunyainya tentu akan menyatakan diri dalam tingkah laku lahiriah. Apalagi jika suatu kesentosaan batin adalah suatu kebaikan tidak berada dalam suatu kevakuman (melainkan ada dalam konteks interaksi antara sesama manusia dan bahkan sesama ciptaan Tuhan dalam arti seluas-luasnya), maka perolehan spiritual pribadi akibat adanya iman yang benar, sikap pasrah yang tulus (al-Islam), ridlo dan tawakal kepada Allah serta ingat (dzikir) kepad-Nya, tidak bisa tidak melahirkan berbagai konsekuensi tingkah laku mewujud dalam kerangka kehidupan sosial.[5]
Semua sikap di atas merupakan harapan bagi terwujudnya pribadi yang mempunyai tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah, yang merupakan suatu wujud dari amal saleh. Dalam arti yang seluas-luasnya, amal saleh ialah setiap tingkah laku pribadi yang menunjang usaha mewujudkan tatanan hidup sosial yang teratur dan berkesopanan. Maka salah satu yang diharapkan dari adanya iman dalam dada (pribadi) ialah wujud nyata dalam tindakan yang berdimensi sosial. Tanpa wujud nyata itu maka suatu pengakuan keimanan harus diletakan dalam pertanyaan besar tingkat kesejatiannya.[6]
Dimensi sosial keimanan itu juga dinyatakan dalam berbagai ungkapan yang lain. Salah satunya ialah ungkapan islah (usaha perbaikan, reform), khususnya dalam suatu rangkaian, ungkapan islah al-ardl (baca: islahul ardl, “reformasi dunia”, yakni usaha perbaikan tempat hidup manusia). Secara historis, tampilnya para nabi memang selalu ditandai oleh perjuangan melancarkan reformasi dunia, dengan perjuangan melawan kezaliman sebagai salah satu wujudnya yang paling menonjol.[7]
Pendidikan Islam yang pokok ajarannya berpangkal pada tawhid, yang telah di jabarkan di atas oleh Nurcholish Madjid merupakan suatu upaya untuk mewujudkan tatanan hidup masyrakat yang bernuansakan ketuhanan yang penuh dengan kedamaian dan sikap kebersamaan terhadap sesama yang berujung pada sikap-sikap pasrah kepada Allah sebagai wujud al-Islam, sikap penuh dengan kedamaian dan kerelaan yang merupakan wujud dari sikap salam dan sikap perubahan diri ke-arah perbaikan dalam kehidupan masyarakat dengan wujud islah di dalamnya.
Demikian itu pemikiran Nurcholish Madjid terhadap pendidikan Islam, bagaimana pendidikan tersebut dapat di arahkan pada realisasi ajaran-ajaran Islam yang pada dasarnya bukan hanya dalam segi ubudiyah saja pendidikan Islam itu berjalan, melainkan juga dalam segi asasi. Seperti yang telah dijelaskan di atas tentang ajaran yang bersifat asasi tersebut pembahasannya meliputi tiga masalah utama yaitu Ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman.


[1]  Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, “Filsafat Pendidikan Islam”, (Bandung, Pustaka Setia: 2007), hal. 69
[2]  Nurcholish Madjid, “Islam Doktrin Dan Peradaban (Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemoderenan)", (Jakarta, Paramadina: 2005), hal. 345.

Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Pendidikan Islam


Pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman bukan sekedar perlengkapan dan peralatan fisik atau kuasi fisik pengajaran seperi buku-buku yang di ajarkan ataupun struktur eksternal pendidikan, melainkan sebagai intelektualisme Islam karena baginya hal inilah yang di maksud dengan esensi pendidikan tinggi Islam. Hal ini merupakan pertumbuhan suatu pemikiran Islam yang asli dan memadai, dan yang harus memberikan kriteria untuk menilai keberhasilan atau kegagalan sebuah pendidikan Islam.[1]
Pendidikan Islam dapat mencakup dua pengertian besar. Pertama, pendidikan Islam dalam pengertian praktis, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dunia Islam seperti yang dilaksanakan di Pakistan, Mesir, Sudan, Saudi, Iran, Turki, Maroko, dan sebagainya, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Untuk konteks Indonesia, meliputi pendidikan di pesantren, di madrasah, (mulai dari ibtidaiyah sampai aliyah), dan di perguruan tinggi Islam, bahkan bisa juga pendidikan agama Islam di sekolah (sejak dari dasar sampai lanjutan atas) dan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi umum.[2] Kedua, pendidikan tinggi Islam yang di sebut dengan intlektualisme Islam.[3] Lebih dari itu, pendidikan Islam menurut Fazlur Rahman dapat juga difahami sebagai proses untuk menghasilkan mausia (Ilmuwan) integratif, dinamis, inovatif, progresif, adil, jujur, dan sebagainya. Ilmuwan yang demikian itu diharapkan dapat memberikan alternatif solusi atas problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia.
Dengan mendasarkan pada al-Qur’an, tujuan pendidikan menurut Fazlur Rahman adalah untuk mengembangkan manusia sedemikian rupa sehingga semua pengetahuan yang diperolehnya akan menjadi organ pada keseluruhan pribadi yang kreatif, yang memungkinkan manusia untuk memanfaatkan sumber-sumber alam untuk kebaikan umat manusia dan untuk menciptakan keadilan, kemajuan, dan keteraturan dunia.[4]
Pendidikan Islam mulai abad pertengahan, menurut Fazlur Rahman, dilaksanakan dengan mekanis. Oleh karena itu, pendidikan Islam lebih cenderung pada aspek kognitif dari pada aspek efektif dan psikomotor. Strategi pendidikan Islam yang ada sekarang, menurut  Rahman, bersifat defenisif, yaitu untuk menyelamatkan kaum muslimin dari pencemaran atau kerusakan yang di timbulkan oleh dampak  gagasan-gagasan barat yang datang melalui berbagai disiplin ilmu, trutama gagasan-gagasan yang akan mengancam akan rusaknya standar-standar moralitas tradisional Islam.[5]
Pendidikan Islam menghadapi problem. Dalam artikelnya yang berjudul “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Education Problems” di sebutkan problem-problem pendidikan meliputi problem idiologis, dualism, dalam sistem pendidikan, bahasa, dan problem metode pembelajaran.
Mengenai problem pertama menjelaskan, Orang-orang Islam mempunyai problem idiologis. Mereka tidak mengkaitkan secara efektif pentingnya pengetahuan dengan orentasi idiologinya. Akibatnya, masarakat muslim tidak di dorong untuk belajar. Tampaknya, mereka tidak mempunyai tujuan hidup. Secara umum, terhadap kegagalan dalam mengkaitkan prestasi pendidikan umat Islam dengan amanah idiologi mereka. Masyarakat tidak sadar bahwa mereka berada di bawah perintah moral kewajiban Islam untuk menuntut ilmu pengetahuan.[6]
Mengenai problem kedua menjelaskan. Yang terkait erat dengan pertama adalah bencana besar umat Islam dengan adanya dualisme, dikotomi dalam sistem pendidikan. Pada satu sisi disebut dengan sistem pendidikan “ulama” yang dilaksanakan dimadrasah. Begitu tertinggal sehingga sekarang hasilnya betul-betul mengecewakan. Produk dari sistem ini, menurut  Rahman, tidak dapat hidup didunia modern dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Kurikulum dan silabinya harus diubah secara radikal dan mendasar agar dapat bersaing dalam kehidupan modern. Prinsip-prinsip dasar ilmu sosial, world view sain modern dan pengantar sejarah dunia, bersama-sama dengan ilmu-ilmu humaniora modern, harus dimasukkan pada silabi untuk menambah disiplin-disiplin sepesialis agama. Namun, penting juga dipahami tentang kenyataan bahwa sistem pendidikan modern masyarakat Islam yang dilaksanakan diuniversitas-universitas telah berkembang sama sekali tanpa menyentuh idiologi dan nilai-nilai sosial serta budaya Islam. Mahasiswa tidak terinspirasi sama sekali dengan cita-cita yang mulia. Hasil tragisnya adalah bahwa standar pendidikan kita memburuk dan, dibawah pengaruh secara tiba-tiba dari perkembangan ekonomi, bahkan dasar minimal dari rasa jujur dan tanggung jawab tidak muncul. Maka, kedua sistem pendidikan ini tersakiti oleh bentuk-bentuk fragmentasi yang paling jelek. Hal inilah yang menuntut perhatian segera.[7]
Lebih lanjut Fazlur Rahman menjelaskan akibat dari kondisi ini, yakni pencarian pengetahuan umat Islam secara umum sia-sia, pasif dan tidak kreatif. Sistem madrasah yang tidak asli dan kreatif itu menjadi paten. Namun sayang, sistem pendidikan modern di dunia Islam pun juga begitu. Sekarang umat Islam sedang berda pada abad pendidikan modern, dan cara belajar mereka belum mampu menambah nilai orisinalitas dan investasi nilai ilmu pengetahuan kemanusiaan. Terutama pada ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, kualitas sarjana muslim betul-betul rendah. Jika umat Islam tidak menghasilka pemikir yang berkualitas bagus dalam humaniora dan ilmu-ilmu sosial, mereka tidak dapat berharap mampu memberikan kontribusi yang berharga sekalipun pada ilmu-ilmu murni. Karena itu, ilmu-ilmu murni tidak dapat di tanamkan pada ruangan kosong dan terpisah dari ilmu-ilmu yang lain.[8]
Mengenai problem ketiga, Rahman menjelaskan terkait dengan itu ada problem lain yang sama pentingnya, yaitu problem bahasa. Problem bahasa selalu terkait dengan pendidikan tinggi dan pemikiran. Kita ini di ibaratkan sebagai masarakat muslim tanpa bahasa. Pada hal konsep-konsep murni tidak pernah muncul dalam pikiran kecuali di lahirkan dengan kata-kata (bahasa). Jika tidak ada kata-kata (karena tidak ada bahasa yang memadai ), konsep-konsep yang bermutu tidak akan muncul. Akibatnya, peniruan dan pengulangan seperti halnya burung beo adalah bukan pemikiran orisinal. Kontraversi bahasa yang sering di kemukakan, hendaknya di pisahkan dari emosionalisme politik, dan umat Islam sekarang harus mengembangkan satu bahasa secara memadai dan cepat karena mereka berpacu dengan waktu. Kemajuan dunia tidak akan berhenti menanti mereka, dan tidak memiliki alas an husus untuk memalumi ketinggalan mereka.[9] 
Lebih lanjut Rahman memberikan contoh khusus di Pakistan, yakni jika umat Islam di Pakistan tetap bertujuan sebagai satu bangsa, mereka tertentut untuk memiliki satu bahasa. Begitu memiliki keputusan satu bahasa itu, mereka harus mengembagkannya dengan baik dan tanpa membuang waktu dengan sia-sia. Kemudian, mereka mewajibkan diri mereka sendiri untuk berfikir, menulis, dan membaca dengan bahasa itu. Rahman mengakui bahwa, selama ini, ia mempunyai pikiran yang berharga di tulis dalam bahasa inggris. Akan tetapi, sebagai seorang nasionalis, sampai sekarang ia masih menganggap bahasa inggris sebagai bahas asing.walaupun demikian, mereka juga belum belum dapat mengembangkan bahasa urdu maupun bahasa Bengali yang semestinya secara tulus dan mendesak kedua bahasa itu pantas di kembangkan. Kedua bahasa itu mempunyai sejarah dan sasrta dan tentu saja mempunyai potensi untuk berkembang yaitu bahas urdu mempunyai kelebihan terkait erat dengan tradisi masa lalu mereka.akan tetapi, isu bahasa itu sayngnya menjadi subjek perdebatan emosional politis. Ketika mereka berdebat, pikran mereka tentu saja membusuk padahal seharusnya mereka menjdi pemikir yang bermutu dan kreatif.
Peniruan terma-terma dan prase-prase bagikan burung beo masih menjadi dasar metodologi pendidikan Islam sebagai konsekwensi logis dari ketidak punyaan bahasa yang mampu mengekspresikan proses pemikiran yang kokoh. Sayangnya, sebagian mereka berasal dari warisan sistem pendidikan madrasah. Selam beberapa abad lalu, pendidikan madrasah cendrung berkonsentrasi pada buku-buku dari pada subjek. Anak-anak di ajari belajar dengan menghafal, bukan menolah pikiran secara kreatif. Sehubungan dengan praktik ini, pertumbuhan konsep akan menjadi rusak. Pengetahuan bukan merupakan sesuatu yang kreatif, melainkan sesuatu yang di peroleh. Hal-hal “ada”, baik di dalam buku-buku maupun pada pikiran pikiran guru telah di peroleh dan tersimpan lama. Inilah yang di sebut ”ilmu”. Telah banyak di tunjukan bahwa konsep ini secara diametris bertentangan dengan pandangan pengetahuan sebagai sesuatu pertumbuhan yang terus menerus di anjurkan oleh Al-Qur’an. Tragedi itu terjadi juga pada lembaga-lembaga pendidikan modern Islam, yaitu belajar dengan menghafal secara besar-besaran di peraktikan dan pengajaran buku-buku teks serta pelaksanaan ujian secara terus menerus memperihatinkan.[10]
Dari uraian di atas Rahman memberi gambaran pendidikan di lingkungan umat Islam pada era abad pertengahan dan pra modern sebagai berikut, kelemahan pokok yang di rasakan dalam proses pembelajaran di linkungan masarakat muslim pada abad pertengahan, juga pada masa pra modern, adalah konsepsi mereka tentang pengetahuan (knowledge). Bertolak belakang dengan sikap dan cara berfikir keilmuan era modern, mereka memandang bahwa pengetahuan sebagai sesuatu yang pada dasarnya harus di cari dan di temukan atau di bangun secara sitematis oleh akal pikiran manusia sendiri. Dengan mengandalkan peran akal pikiran manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan, sikap keilmuan abad pertengahan menekankan kenyataan bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang “yang di peroleh”. Sikap dan posisi akal pikiran lebih bersifat pasif dan reseptif dari pada bersifat kreatif dan positif. Di dunia muslim, konsepsi dan mentalitas cara berfikir yang bertolak belakang ini menjadi lebih akut lagi lantaran karna adanya bentuk ilmu pengetahuan yang di transmisikan begitu saja atau juga sering di sebut pengetahuan “tradisional” yang di dasarkan pada penukilan dan pendengaran di satu pihak, konsep pengetahuan yang bersifat “rational” dilain pihak.[11]
Di samping itu, Rahman mengutip apa yang dikatakan oleh Sibli nu’mani dan Muhamad Abduh. Menurut nu’mani, para mahasiswa yang telah lama belajar di Dar al-ulum Cairo, telah dikenalkan pada sistem pendidikan barat modern. Meskipun pemikiran mereka tetap tidak dapat mengintregasikannya. Abduh menyesalkan hal yang sama di Al-Azhar Cairo. Dilemma ini menjadi ciri utama pendidikan di dunia Islam yang mengembangkan pendidikan tradisional dengan mengadopsi sistem pendidikan barat modern. Setiap upaya untuk menghilangkan dikotomi ini dan memadukannya secra murni tidak pernah dapat mendatangkan hasil sebagaimana yang di harapkan.[12] Rahman juga menjelaskan bahwa sekarang siswa-siswa yang tertarik pada pendidikan Islam hanya mereka yang tidak di terima pada bidang-bidang yang basah.[13]
Setelah kita mengetahui pemikiran Rahman, dapat di ketahui bahawa Rahman adalah tokoh yang pemikirannya di kategorikan sebagai neo modernisme Islam. Pola pemikiran yang menggabungkan dua factor penting, yakni modernism dan tradisionalisme. Modernisme menurut Rahman bukanlah suatu yang harus di tolak, melainkan dengan modernisme bukan pula berarti alam pemikiran tradisionalisme harus di kesampingkan. Dalam beberapa hal, bahkan kedua alam pemikiran ini bisa bisa berjalan seiring.

Referensi


[1] Fazlur Rahman,Islam and Modernity: Trasformational of an Intlektual Tradition, The University of Chicago press, Chicago, 1982, hlm. 1. Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 2006) hlm. 170
[2] Untuk pengertian pendidikan semacam ini jelas sekali pada karya-karyanya, seperti dalam buku Islam halaman 181-192, dalam buku Islam and modernity: transformation of and intelektual tradition, dan dalam artikel yang berjudul “the Qur’anic solution of Pakistan’s educational problems”
[3] Untuk pengertian seperti ini dapat pula di lihat pada buku Islam and Modernity: Transformation of an Inteletual Tradition, terutama hlm. 151-162. Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 2006) hlm. 170
[4] Fazlur Rahman untuk pengertian ini dapat pula di lihat pada buku Islam and modernity : Transformation of an Intelektual Tradition, terutama hlm. 151-162 Dalam Sutrisno, ibid hlm. 171

[5] Fazlur Rahman, Islam and Modernity hlm. 86 Dalam Sutrisno, ibid hlm. 171
[6] Fazlur Rahman The Qur’anic solution,hlm. 320-321 Dalam Sutrisno, ibid hlm. 173

[7] Ibid. Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 2006) hlm. 174

[8] Ibid. Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 2006) hlm. 174
[9] Ibid. hlm. 32 Dalam Sutrisno, ibid  hlm. 175

[10] Ibid hlm. 322-323 Dalam Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian terhadap Metode, Epistemologi dan Sistem Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I., 2006) hlm. 176

[11] Fazlur Rahman Islam hlm.191 Dalam Sutrisno, ibid  hlm. 177
[12] Fazlur Rahman, Islam and Modernity,hlm. 130. Dalam Sutrisno, ibid hlm. 177
[13] Ibid. hlm. 139. Dalam Sutrisno,ibid hlm. 177

February 11, 2013

Sejarah hidup Imam Ghozali


Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.

Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau

Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A'lam Nubala' 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi'iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi'iyah dalam catatan kakinya 6/192-192). Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A'lam Nubala' 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi'iyah 6/193 dan 194).

Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu

Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini. Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk keduanya.”

Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua, saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”

Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi'iyah 6/193-194).

Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih. Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi'iyah 6/194).

Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi (Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi'iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A'lam Nubala' 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi'iyah 6/191).

Setelah Imam Haramain meninggal, berangkatlah Imam Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena majelisnya tempat berkumpul para ahli ilmu, sehingga beliau menantang debat kepada para ulama dan mengalahkan mereka. Kemudian Nidzamul Malik mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad dan memerintahkannya untuk pindah ke sana. Maka pada tahun 484 H beliau berangkat ke Baghdad dan mengajar di Madrasah An Nidzamiyah dalam usia tiga puluhan tahun. Disinilah beliau berkembang dan menjadi terkenal. Mencapai kedudukan yang sangat tinggi.

Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya

Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi." (Majmu' Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya' Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits palsu." (Majmu' Fatawa 6/54).

Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki.

Adz Dzahabi berkata, "Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa." (Siyar A'lam Nubala 19/328).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar'i). Oleh karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi mengatakan, "Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak mampu." (Majmu' Fatawa 4/164).

Polemik Kejiwaan Imam Ghazali

Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, "Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami' Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi." (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A'lam Nubala 6/34).

Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, "An Nidzam (Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi." (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A'lam Nubala 6/34).

Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al Qur'an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.

Masa Akhir Kehidupannya

Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, "Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri."

Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, "Bawa kemari kain kafan saya." Lalu beliau mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, "Saya patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut." Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A'lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi'iyah 6/201).

February 10, 2013

Prinsip Metodologi


Metodologi merupakan bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memenuhi ciri-ciri Ilmiah. Metodologi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat. Jika kita membicarakan metodologi maka hal yang tak kalah pentingnya adalah asumsi-asumsi yang melatarbelakangi berbagai metode yang dipergunakan dalam aktivitas ilmiah. Asumsi-asumsi yang dimaksud adalah pendirian atau sikap yang akan dikembangkan para ilmuwan maupun peneliti di dalam kegiatan ilmiah mereka.

Beberapa prinsip metodologi oleh beberapa ahli, diantaranya:
A. Rene Descartes
Dalam karyanya Discourse On Methoda, dikemukakan 6 (enam ) prinsip metodologi yaitu:
Membicarakan masalah ilmu pengetahuan diawali dengan menyebutkan akal sehat (common sense) yang pada umumnya dimiliki oleh semua orang. Akal sehat menurut Descartes ada yang kurang, adapula yang lebih banyak memilikinya, namun yang terpenting adalah penerapannya dalam aktivitas ilmiah.
Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan dipergunakan dalam aktivitas ilmiah maupun penelitian. Descartes mengajukan 4 (empat) langkah atau aturan yang dapat mendukung metode yang dimaksud yaitu: (1) Jangan pernah menerima baik apa saja sebagai yang benar, jika anda tidak mempunyai pengetahuan yang jelas mengenai kebenarannya. Artinya, dengan cermat hindari kesimpulan-kesimpulan dan pra konsepsi yang terburu-buru dan jangan memasukkan apapun ke dalam pertimbangan anda lebih dari pada yang terpapar dengan begitu jelas sehingga tidak perlu diragukan lagi, (2) Pecahkanlah setiap kesulitan anda menjadi sebanyak mungkin bagian dan sebanyak yang dapat dilakukan untuk  mempermudah penyelesaiannya secara lebih baik.(3) Arahkan pemikiran anda secara jernih dan tertib, mulai dari objek yang paling sederhana dan paling mudah diketahui, lalu meningkat sedikit demi sedikit, setahap demi setahap ke pengetahuan yang paling kompleks, dan dengan mengandaikan sesuatu urutan bahkan diantara objek yang sebelum itu tidak mempunyai ketertiban baru. (4) Buatlah penomoran untuk seluruh permasalahan selengkap mungkin, dan adakan tinjauan ulang secara menyeluruh sehingga anda dapat merasa pasti tidak suatu pun yang ketinggalan. (5)Langkah yang digambarkan Descartes ini menggambarkan suatu sikap skeptis metodis dalam memperoleh kebenaran yang pasti.

Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan bagi penerapan metode sebagai berikut: (1) Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil berpegang pada agama yang diajarkan sejak masa kanak-kanak. (2) Bertindak tegas dan mantap, baik pada pendapat yang paling meyakinkan maupun yang paling meragukan. (3) Berusaha lebih mengubah diri sendiri dari pada merombak tatanan dunia.
Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acap kali terkecoh oleh indera. Kita memang dapat membayangkan diri kita tidak berubah namun kita tidak dapat membayangkan diri kita tidak bereksistensi, karena terbukti kita dapat menyangsikan kebenaran pendapat lain. Oleh karena itu, kita dapat saja meragukan segala sesuatu, namun kita tidak mungkin meragukan kita sendiri yang sedang dalam keadaan ragu-ragu.

Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia yang terdiri atas dua substansi yaitu RESCOGITANS (jiwa bernalar) dan RES-EXTENSA (jasmani yang meluas). Tubuh (Res-Extensa) diibaratkan dengan mesin yang tentunya karena ciptaan Tuhan, maka tertata lebih baik. Atas ketergantungan antara dua kodrat ialah jiwa bernalar dan kodrat jasmani. Jiwa secara kodrat tidak mungkin mati bersama dengan tubuh. Jiwa manusia itu abadi.

B. Alfred Julesayer
Dalam karyanya yang berjudul Language, Truth and Logic yang terkait dengan prinsip metodologi adalah prinsip verifikasi. Terdapat dua jenis verifikasi yaitu:
Verifikasi dalam arti yang ketat (strong verifiable) yaitu sejauh mana kebenaran suatu proposisi (duga-dugaan) itu mendukung pengalaman secara meyakinkan.
Verifikasi dalam arti yang lunak, yaitu jika telah membuka kemungkinan untuk menerima pernyataan dalam bidang sejarah (masa lampau) dan ramalan masa depan sebagai pernyataan yang mengandung makna.
Ayer menampik kekuatiran metafisika dalam dunia ilmiah, karena pernyataan-pernyataan metafisika (termasuk etika theologi) merupakan pernyataan yang MEANING LESS (tidak bermakna) lantaran tidak dapat dilakukan verifikasi apapun
  
C. Karl Raimund Popper
K.R. Popper seorang filsuf kontemporer yang melihat kelemahan dalam prinsip verifikasi berupa sifat pembenaran (justification) terhadap teori yang telah ada. K.R. Popper mengajukan prinsip verifikasi sebagai berikut:
Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi. Teori-teori ilmiah selalu bersifat hipotetis (dugaan sementara), tak ada kebenaran terakhir.
Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori lain yang lebih tepat.
Cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan (observasi) secara teliti gejala (simpton) yang sedang diselidiki. Pengamatan yang berulang -ulang itu akan memperlihatkan adanya ciri-ciri umum yang dirumuskan menjadi hipotesa. Selanjutnya hipotesa itu dikukuhkan dengan cara menemukan bukti-bukti empiris yang dapat mendukungnya. Hipotesa yang berhasil dibenarkan (justifikasi) akan berubah menjadi hukum. K.R. Popper menolak cara kerja di atas, terutama pada asas verifiabilitas, bahwa sebuah pernyataan itu dapat dibenarkan berdasarkan bukti-bukti verifikasi pengamatan empiris.

K.R Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip FALSIFA BILITAS, yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya. Maksudnya sebuah hipotesa, hukum, ataukah teori kebenarannya bersifat sementara, sejauh belum ada ditemukan kesalahan-kesalahan yang ada di dalamnya. Misalnya, jika ada pernyataan bahwa semua angsa berbulu putih melalui prinsip falsifiabilitas itu cukup ditemukan seekor angsa yang bukan berbulu putih (entah hitam, kuning, hijau, dan lain-lain), maka runtuhlah pernyataan tersebut. Namun apabila suatu hipotesa dapat bertahan melawan segala usaha penyangkalan, maka hipotesa tersebut semakin diperkokoh (CORROBORATION). 

February 05, 2013

Penelitian Kuantitatif New



1. Definisi Penelitian Kuantitatif

Kasiram (2008: 149) dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, mendefinisikan penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui.

2. Asumsi Penelitian Kuantitatif

Penelitian kuantitatif didasarkan pada asumsi sebagai berikut (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001; Del Siegle, 2005, dan Johnson, 2005).
a. Bahwa realitas yang menjadi sasaran penelitian berdimensi tunggal, fragmental, dan cenderung bersifat tetap sehingga dapat diprediksi.
b. Variabel dapat diidentifikasi dan diukur dengan alat-alat yang objektif dan baku.

3. Karakeristik Penelitian Kuantitatif

Karakteristik penelitian kuantitatif adalah sebagai berikut (Nana Sudjana dan Ibrahim, 2001 : 6-7; Suharsimi Arikunto, 2002 : 11; Johnson, 2005; dan Kasiram 2008: 149-150) :
a. Menggunakan pola berpikir deduktif (rasional – empiris atau top-down), yang berusaha memahami suatu fenomena dengan cara menggunakan konsep-konsep yang umum untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang bersifat khusus.
b. Logika yang dipakai adalah logika positivistik dan menghundari hal-hal yang bersifat subjektif.
c. Proses penelitian mengikuti prosedur yang telah direncanakan.
d. Tujuan dari penelitian kuantitatif adalah untuk menyususun ilmu nomotetik yaitu ilmu yang berupaya membuat hokum-hukum dari generalisasinya.

e. Subjek yang diteliti, data yang dikumpulkan, dan sumber data yang dibutuhkan, serta alat pengumpul data yang dipakai sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya.
f. Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dengan mengguna-kan alat yang objektif dan baku.
g. Melibatkan penghitungan angka atau kuantifikasi data.
h. Peneliti menempatkan diri secara terpisah dengan objek penelitian, dalam arti dirinya tidak terlibat secara emosional dengan subjek penelitian.
i. Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul.
j. Dalam analisis data, peneliti dituntut memahami teknik-teknik statistik.
k. Hasil penelitian berupa generalisasi dan prediksi, lepas dari konteks waktu dan situasi.
l. Penelitian kuantitatif disebut juga penelitian ilmiah

3. Prosedur Penelitian Kuantitatif

Penelitian kuantitatif pelaksanaannya berdasarkan prosedur yang telah direncanakan sebelumnya. Adapun prosedur penelitian kuantitatif terdiri dari tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut.
a. Identifikasi permasalahan
b. Studi literatur.
c. Pengembangan kerangka konsep
d. Identifikasi dan definisi variabelhipotesis, dan pertanyaan penelitian.
e. Pengembangan disain penelitian.
f. Teknik sampling.
g. Pengumpulan dan kuantifikasi data.
h. Analisis data.
i. Interpretasi dan komunikasi hasil penelitian.

4. Tipe-tipe Penelitian Kuantitatif

Dalam melakukan penelitian, peneliti dapat menggunakan metoda dan rancangan (design) tertentu dengan mempertimbangkan tujuan penelitian dan sifat masalah yang dihadapi. Berdasarkan sifat-sifat permasalahannya, penelitian kuantitatif dapat dibedakan menjadi beberapa tipe sebagai berikut (Suryabrata, 2000 : 15 dan Sudarwan Danim dan Darwis, 2003 : 69 – 78).
a. Penelitian deskriptif
b. Penelitian korelational
c. Penelitian kausal komparatif
d. Penelitian tindakan
e. Penelitian perkembangan

5. Metode Penelitian Kuantitatif

Metode yang dipergunakan dalam penelitian kuantitatif, khusunya kuantitatif analitik adalah metode deduktif. Dalam metoda ini teori ilmiah yang telah diterima kebenarannya dijadikan acuan dalam mencari kebenaran selanjutnya.

Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik (2000: 6) menyatakan bahwa pada dasarnya metoda ilmiah merupakan cara ilmu memperoleh dan menyusun tubuh pengetahuannya berdasarkan : a) kerangka pemikiran yang bersifat logis dengan argumentasi yang bersifat konsisten dengan pengetahuan sebelumnya yang telah berhasil disusun; b) menjabarkan hipotesis yang merupakan deduksi dari kerangka pemikiran tersebut; dan c) melakukan verifikasi terhadap hipotesis termaksud untuk menguji kebenaran pernyataannya secara faktual.

Selanjutnya Jujun menyatakan bahwa kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikatif ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut (Suriasumantri, 2005 : 127-128).
a) Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
b) Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
c) Perumusan hipotesis  yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari dari kerangka berpikir yang dikembangkan.

d) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis  yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipoteisis tersebut atau tidak.
e) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima.
Langkah-langkah atau prosedur penelitian tersebut kemudian oleh Jujun S. Suriasumantri divisualisasikan dalam bentuk bagan sebagai berikut:


Sumber : http://statistikian.blogspot.com

July 28, 2012

Negara Marxis dan Revolusi

Judul Buku              : Negara Marxis dan Revolusi
Proletariat Penulis : Nur Sayyid Santoso Kristeva, M.A.
Cetakan                    : Ke-1, Agustus 2011
Tebal                          : xxxix + 1005 Halaman
Penerbit                    : Pustaka Pelajar Jogjakarta
ISBN                          : 978-602-9033-68-8

Gagasan Marx tentang Negara sesungguhnya menjadi kunci penting untuk memahami pemikiran besar Marx secara menyeluruh. Sayangnya, Das Kapital, sebagai magnum opus Marx tidak secara eksplisit memaparkan dasar-dasar teoretik Negara meskipun sesungguhnya Marx telah memberikan kritik yang mendasar dan radikal mengenai permasalahan ekonomi politik dan konsep sejarah perkembangan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh proses produksi kapital dan tidak bisa lepas dari gagasan tentang Negara. Dengan mengambil pengalaman sejarah dari tahun-tahun revolusi 1848-1851 sebagai landasannya, Marx secara konsisten membangun materialisme dialektika. Ajaran-ajaran itu sesungguhnya mengandung ikhtisar pengalaman yang disinari oleh suatu pandangan filsafat yang matang tentang dunia dan pengetahuan yang kaya mengenai Negara. Ajarannya mengandung penjelasan tentang masalah-masalah: bagaimana terjadinya Negara borjuis? Mesin-mesin Negara apa saja yang diperlukan oleh kekuasaan borjuis ditinjau dari segi sejarah? Perubahan-perubahan apa yang dialami olehnya? Evolusi apa yang dijalankannya dalam revolusi-revolusi borjuis dan dihadapan aksi-aksi independen dari kelas-kelas tertindas? Dan juga apa tugas-tugas proletariat dalam menghadapi mesin-mesin Negara ini? Namun jawaban Marx belum merupakan rumusan yang eksplisit dan sistematis. oleh karena itu upaya untuk merumuskannya merupakan hal yang sangat penting. Marx adalah tokoh yang tidak dapat diabaikan dari sejaran dan pemikiran. Marxisme adalah konsekuensi logis dari Hegelianisme, bahkan filsafat pada umumnya. Bahwa perjuangan kelas proletariat dalam menjalankan tugas revolusioner memiliki peran penting dalam membentuk konsepsi negara Marx. Teori negara Marxis intinya bahwa negara adalah alat dari sebuah kelas yang berkuasa demi kepentingan kelas-kelas atas. Bahwa terbentuknya negara dideterminasi secara dialektis dalam proses sejarah pertentangan kelas dalam masyarakat.

Terkait dengan urgensi itulah buku ini ditulis. Buku ini berusaha menjawab secra sistematis bagaimana konsep pemikiran Karl Marx tentang negara dan revolusi sosial, dan bagaimana tugas-tugas proletariat di dalam revolusi sosial. Dalam buku ini penulis menganalisis ajaran Marx tentang negara dan tugas proletariat di dalam revolusi sosial. Diawali dari uraian tentang konsepsi Ideologi Marx, Konsepsi Negara Hegel, Marxis dan Engels. Negara adalah dominasi kelas berkuasa, maka untuk menciptakan tatanan sosialisme dibutuhkan peranan revolusioner proletariat dalam sejarah, dan puncak perjuangan kelas ini adalah diktatur proletariat untuk mempertahankan masyarakat sosialis. Kemudian penulis juga menganalisis dengan kritis bagaimana konsepsi revolusi sosialisme dalam proses perubahan sosial masyarakat. Serta bagaimana konsepsi tentang filsafat proletariat dalam tugasnya mendorong revolusi sosial. Konsepsi tentang filsafat proletariat memberikan dasar penting, dan menjadi jalan penghubung kepada Teori Negara Marxis.
Namun demikian apa yang disajikan dalam buku ini lebih dari sekedar sistematisasi gagasan Marx tentang Negara. Dengan metode hermeneutis-interpretatif dan pendekatan kritis-filosofis serta heuristika, penulis menawarkan pemahaman baru terhadap dimensi pemikiran filsafat sosial dan politik tentang Negara dan revolusi sosial menurut Karl Marx. Tawaran ini menjadi penting—tidak berarti kita menelannya bulat-bulat—ketika sejarah hari ini mencatat bahwa Negara semakin vulgar menunjukkan diri sebagai alat kepentingan penguasa dan pemodal.[]


Contact Penulis    : 085 647 634312/ 087 838 520 977,
E-Mail            : skristeva@gmail.com/ nuriel.ugm@gmail.com
Alamat Penerbit Pustaka Pelajar  : Celebah Timur UH III/ 548 Jogjakarta 55167, Telp. (0274) 381542, Fax. (0274) 383083, E-Mail: pustakapelajar@yahoo.com/ pustakapelajar
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...