Puncak Gunung Gede, Jawa Barat |
Sejarah Pecinta Alam
Jika kita mau melihat masa lalu sebenarnya sejarah manusia itu sangat erat hubungannya dengan alam. sejak zaman pra sejarah dimana manusia masih berburu dan mengumpulkan makanan
(meramu), alam adalah tempat tinggal mereka. dan selalu bergantung kepada alam, jajaran pegunungan adalah tempat mereka bersandar, lembah dan padang rumput adalah tempat mereka berbaring, sungai adalah tempat mereka melepas dahaga, dan goa-goa adalah tempat mereka berlindung dari sengatan matahari dan terpaan hujan sera badai.
akan tetapi setelah manusia menemukan budaya dan tehnologi, alam menjadi barang abeh yang selalu eksploitasi. manusia mulai mendirika bangunan untuk mereka berlindung, manusia mulai menciptakan barang-barang untuk mendapatkan kemudahan dalam hidup mereka walau mereka tak menyadari barang-barang tersebut dapat mencemari alam. Manusia juga menciptakan gedung-gedung bertingkat untuk mengangkat kepala mereka dan menonjolkan keegoisan mereka, hingga pada akhirnya manusia dan alam mengukir sejarahnya sendiri-sendiri. Ketika keduanya bersatu dan saling menghormati kembali, maka saat itulah Sejarah Pecinta Alam dimulai:
akan tetapi setelah manusia menemukan budaya dan tehnologi, alam menjadi barang abeh yang selalu eksploitasi. manusia mulai mendirika bangunan untuk mereka berlindung, manusia mulai menciptakan barang-barang untuk mendapatkan kemudahan dalam hidup mereka walau mereka tak menyadari barang-barang tersebut dapat mencemari alam. Manusia juga menciptakan gedung-gedung bertingkat untuk mengangkat kepala mereka dan menonjolkan keegoisan mereka, hingga pada akhirnya manusia dan alam mengukir sejarahnya sendiri-sendiri. Ketika keduanya bersatu dan saling menghormati kembali, maka saat itulah Sejarah Pecinta Alam dimulai:
Pada sekitar tahun 1492
sekelompok orang Perancis di bawah pimpinan Anthoine de Ville mencoba memanjat
tebing Mont Aiguille (2097 m) di kawasan Vercors Massif. Waktu itu belumlah
terlalu jelas apakah mereka ini tergolong sebagai para pendaki gunung yang
pertama. Namun beberapa dekade kemudian orang-orang yang naik turun
tebing-tebing batu di pegunungan Alpen adalah para pemburu chamois (sejenis
kambing gunung). Mungkin saja mereka ini para pemburu yang mendaki gunung,
namun inilah pendakian gunung tertua yang pernah dicatat dalam sejarah. Pada
sekitar tahun 1786 puncak gunung tertinggi pertama yang dapat dicapai manusia
adalah puncak Mont Blanc (4807 m) di Perancis. Lalu pada tahun 1852 puncak
Everest setinggi 8840 meter diketemukan. Orang-orang Nepal menyebutnya
Sagarmatha atau menurut orang Tibet menyebutnya Chomolungma. Puncak Everest
berhasil dicapai manusia pada tahun 1953 melalui kerjasama Sir Edmund Hillary
dari Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay yang tergabung dalam suatu
ekspedisi Inggris. Sejak saat itulah pendakian ke atap-atap dunia semakin
ramai.
Di Indonesia sendiri
sejarah pendakian gunung dimulai sejak tahun 1623 saat Yan Carstensz menemukan
“Pegunungan sangat tinggi di beberapa tempat tertutup salju” di Papua. Nama
orang Eropa ini dikemudian hari digunakan untuk salah satu gunung di gugusan
Pegunungan Jaya Wijaya yaitu Puncak Carstensz. Pada tanggal 18 Oktober 1953 di
Indonesia berdiri sebuah perkumpulan yang diberi nama “Perkumpulan Pentjinta
Alam” (PPA). PPA merupakan perkumpulan hobby yang dimaksudkan sebagai suatu
kegemaran positif terlepas dari sifat maniak yang semata-mata ingin melepaskan
nafsunya dalam corak negatif. Perkumpulan ini bertujuan mengisi kemerdekaan
dengan kecintaan terhadap negeri ini selepas masa revolusi yang diwujudkan
dengan mencintai alamnya serta memperluas dan mempertinggi rasa cinta terhadap
alam seisinya dalam kalangan anggotanya dan masyarakat umumnya. Awibowo, salah
satu pendiri perkumpulan ini mengusulkan istilah pecinta alam karena cinta
lebih dalam maknanya daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi
belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi.”Bukankah kita dituntut untuk
mengabdi kepada negeri ini ?.” Satu kegiatan besar yang pernah diadakan PPA
adalah pameran tahun 1954 dalam rangka ulang tahun kota Jogja, mereka membuat
taman dan memamerkan foto kegiatan. Mereka juga sempat merenovasi Argodumilah
(tempat melihat pemandang di desa Patuk) tepat di jalan masuk Kabupaten Gunung
Kidul, Jogjakarta. PPA juga sempat menerbitkan majalah “Pecintja Alam” yang
terbit bulanan. Namun sayang perkumpulan ini tidak berumur lama, penyebabnya
antara lain faktor pergolakan politik dan suasana yang belum terlalu mendukung
hingga akhirnya pada tahun 1960 PPA dibubarkan.
Sejarah pecinta alam
kampus di Indonesia dimula pada era tahun 1960-1970 an. Pada saat itu kegiatan
politik praktis mahasiswa dibatasi dengan dikeluarkannya SK 028/3/1978 tentang
Pembekuan Total Kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan
Konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Gagasan mula-mula pendirian Pecinta
Alam kampus dikemukakan oleh Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 Nopember 1964
ketika mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah bekerja bakti di TMP
Kalibata. Sebetulnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri,
diilhami oleh organisasi pecinta alam yang didirikan oleh beberapa orang
mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak Gunung Pangrango.
Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi itu keanggotaannya
tidak hanya terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat
menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat, namun sayangnya organisasi
ini mati pada usianya yang kedua. Setelah berbincang – bincang selama kurang
lebih satu jam semua yang hadir antara lain : Soe Hok Gie, Maulana, Koy
Gandasuteja, Ratnaesih (kemudian menjadi Ny. Maulana), Edhi Wuryantoro, Asminur
Sofyan Udin, D armatin Suryadi, Judi Hidayat Sutarnadi, Wahjono, Endang
Puspita, Rahayu,Sutiarti (kemudian menjadi Ny. Judi Hidayat) sepakat untuk
membicarakan gagasan tadi pada keesokan harinya di FSUI.
Pada pertemuan kedua yang
diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, di depan ruang perpustakaan.
Hadir pada saat itu semua yang sudah disebut ditambah Herman O. Lantang yang
saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI. Pada saat itu dicetuskan
nama organisasi yang akan lahir itu
IMPALA singkatan dari
Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Setelah pendapat ditampung akhirnya diputuskan
nama organisasi yang akan lahir itu IMPALA. Kemudian pembicaraan dilanjutkan
dengan membahas kapan dan dimana IMPALA akan diresmikan. Akan tetapi setelah
bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum yaitu Drs. Soemadio
dan Drs. Moendardjito yang ternyata juga menaruh minat terhadap organisasi
tersebut dan menyarankan agar merubah nama IMPALA menjadi MAPALA
PRAJNAPARAMITA. Nama ini diberikan oleh Bpk. Moendardjito karena menggangap nama
IMPALA terlalu borjuis. MAPALA merupakan singkatan dari Mahasiswa Pecinta Alam,
selain itu MAPALA juga memiliki arti berbuah atau berhasil. Dan PRAJNAPARAMITA
berarti dewi pengetahuan. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala
sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat
perlindungan dewi pengetahuan. Ide pencetusan pada saat itu memang didasari
oleh faktor politis selain dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga
untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain
yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap
dalam hubungannya antar organisasi. Sampai akhirnya diresmikanlah organisasi
ini pada tanggal 11 desember 1964 dengan peserta mencapai lebih dari 30 orang.
Dalam tulisannya di Bara
Eka (13 Maret 1966), Soe Hok Gie mengatakan bahwa, “Tujuan Mapala ini adalah
mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara
jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya.
Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat
ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka
percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh
barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik.” Para mahasiswa itu
diawali dengan berdirinya Mapala Universitas Indonesia, mencoba menghargai dan
menghormati alam dengan menapaki alam mulai dari lautan hingga ke puncak-puncak
gunung. Mencoba mencari makna akan hidup yang sebenarnya dan mencoba membuat
sejarah bahwa manusia dan alam sekitar mempunyai kaitan yang erat. Sejak saat
itulah Pecinta Alam merasuk tak hanya di kampus melainkan ke sekolah-sekolah,
ke bilik-bilik rumah ibadah, lorong-lorong bahkan ke dalam jiwa-jiwa bebas yang
merindukan pelukan sang alam.