Munculnya suatu pemikiran atau paradigma baru dalam ranah pemikiran keislaman, menandakan bahwa selain memperlihatkan adanya kedinamisan pemikir muslim dalam merespon kondisi kekinian, juga membuktikan bahwa ajaran Islam itu –meskipun sudah kaaffah- ternyata membutuhkan penyelarasan serta interpretasi baru akan ajaran dan nilai yang dikandungnya agar umat sebagai subjek dari ajaran tersebut mampu beradaptasi dengan realitas kekinian dimana pergesekan paradigma global, terutama yang berasal dari lingkungan barat, telah menyeret kaum muslimin untuk menerima tanpa reserve ide atau pemikiran barat yang nota bene banyak mengandung kontradiksi dengan ajarannya sendiri..
Wacana Islam Transformatif sendiri di Indonesia baru menggelinding dilingkungan terbatas saja, selain faktor kurang tersosialisasi dengan masif juga yang terpenting adalah dikarenakan definisi serta konsepsi tentang Islam Transformatif sendiri belum tergali secara komprehensif. Sehingga wacana ini belum bisa diterima dibeberapa kalangan karena dinilai memiliki beberapa kelemahan baik dari sisi terminologis maupun epistimologisnya.
Corak islam transformative adalah memberikan interpretasi atas ide atau pemikirannya itu sebagai sebuah upaya mentransformasikan ajaran-ajaran Islam dari posisinya yang normatif menjadi suatu ajaran yang praxis, serta yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai yang sifatnya normatif tersebut bisa menggerakkan atau memobilisasi ummat sebagai pengikut ajaran tersebut memecahkan permasalahan yang dihadapinya. Tentunya Islam Transformatif lebih menitik beratkan pada tataran Movement ketimbang sisi-sisi rutinitas religius. Menurutnya kelemahan sebagian besar umat Islam adalah dalam membuat parameter kesalehan, baik kesalehan dihadapan manusia maupun tuhannya sendiri. Umat Islam terjebak pada kesalehan simbolis, sedangkan nilai substansial dari hal yang simbolik tersebut malah kurang teraktualisasikan. Sebagai contoh sederhana kesalehan simbolik adalah ketika seseorang taat dan selalu mengerjakan shalat lima waktu, puasa sunat senin kamis, mengeluarkan zakat hartanya sesuai dengan nisab, dan bentuk-bentuk lain, dianggap merupakan orang saleh dan suci. Padahal menurut Islam Transformatif adalah ketika seseorang secara sadar dan tahu apa nilai substansial dari rutinitas religius itu dan ia mampu menerjemahkannya dalam bentuk-bentuk lain yang realistis dan relevan dengan fenomena permasalahan manusia dewasa ini, maka itulah sebetulnya yang diharapkan dari ajaran Islam. Sebagai contoh rutinitas religius yang sering dilakukan umat Islam adalah shalat lima waktu, Islam mengajarkan bahwa shalat itu pada intinya (substansinya) adalah perbuatan yang akan senantiasa melakukan pencegahan terhadap perbuatan phasyad dan munkar. Jika seorang muslim mampu menegakkan hal tersebut maka sebetulnya dia telah menjalankan inti ajaran Islam dan orang tersebut bisa dikatakan sebagai orang saleh, tapi bila kemunkaran yang ada dihadapannya belum mampu dia cegah dan dia berantas maka sia-sia lah ibadah tersebut.
Banyak hal sebetulnya yang dibahas dan dianjurkan untuk dilakukan oleh paradigma Islam Transformatif ini, namun yang terpenting adalah bagaimana seorang muslim mampu merespon realitas sosial lingkungannya serta mampu membawa perubahan sosial seperti yang dianjurkan oleh Islam, dimana nilai-nilai keadilan sosial benar-benar mampu ditegakkan dan dirasakan oleh manusia disekelilingnya.