Diskursus tentang peranan dan kontribusi gerakan mahasiswa (student movement) dalam proses pendewasan bangsa ini sudah lama menjadi isu sentral dalam berbagai kesempatan. Banyak sekali forum-forum diskusi diadakan untuk memperbincangkan tema tersebut. Ada yang mengapresiasi dan ada pula yang menghujat. Selama ini, gerakan mahasiswa selalau aktif, terutama kepeduliannya dalam merespon setiap persoalan sosial-politik yang terjadi dan berkembang ditengah-tengah masyarakat. Terlebih lagi ketika terjadi praktik-praktik ketidak-adilan, ketimpangan sosial, pembodohan, dan penindasan terhadap hak-hak rakyat yang sudah tidak dapat ditolelir.
Sekalipun peran gerakan mahasiswa belum menjadi kekuatan transformasional secara konfrehensif, namun lacakan sejarah nasional di Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada satu perubahan pun yang tidak melibatkan kekuatan mahasiswa. Mahasiswa telah menjadi salah satu ikon perubahan penting dalam sejarah sosial masyarakat, maka tidak berlebihan jika mahasiswa diberi gelar “agent of social change”. Ini menegaskan bahwa gerakan mahasiswa telah terbukti menjadi katalisator yang tidak dapat disepelekan bagi penciptaan gerakan rakyat yang masif dalam menentang penguasa yang tiran dan otoriter.
Hanya saja harus diakui, fakta sejarah di atas sama sekali berbeda dengan realitas yang kita hadapi sekarang. Dewasa ini gerakan mahasiswa tengah mengalami involusi gerakan, sebagai akibat dari pertarungan kepentingan politik pragmatis dan tidak terkonsolidasikannya gerakan mahasiswa dalam mengawal proses transisi demokrasi pasca gerakan reformasi 1998. Tidak heran kalau fenomena ini dibaca sebagai kemerosotan atau “kematian” gerakan mahasiswa (the death of student movement) di Indonesia. Bahkan gerakan mahasiswa yang sebelumnya sempat bersatu melawan rezim otoritarianisme Soeharto, sekarang pun mengalami polarisasi gerakan yang luar biasa. Implikasinya gerakan ini menjadi terpecah-pecah, kehilangan arah dan ketidak-siapaan untuk merespon isu-isu aktual sehingga tidak mampu menemukan reformulasi baru dalam mengawal transisi demokrasi dewasa ini.
Kondisi ini diperparah dengan masuknya gerakan mahasiswa pada ruang-ruang politik praktis (syahwat politik kaum muda), yang “membunuh” idealisme mahasiwa dan mengarah pada materialisme. Seperti tuntutan untuk menjatuhkan presiden dan mengusung nama calon presiden dengan isu-isu tertentu yang sangat kental dengan nuansa politik praktisnya ketimbang gerakan moral, tanpa sebuah rasionalisasi politik yang nyata. Gerakan semacam ini bukan sepenuhnya keliru, tetapi kita sudah sepakat bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan moral. Maka gerakan mahasiswa harus tetap konsisten dengan jargon dan idealisme yang diusungnya.
Menempatkan isu politik praktis sebagai basis gerakan akan menjadikan solidaritas gerakan mahasiswa menjadi luntur dan terpecah-pecah. Maka dari itu, gerakan mahasiswa harus kembali pada khitahnya sebagai gerakan moral yang rasional. Jangan sampai gerakan mahasiswa terkooptasi oleh kelompok atau partai politik tertentu. Sebab kalau itu yang terjadi, berarti gerakan mahasiswa telah menggali “kuburnya” sendiri. Tidak ada lagi orang yang percaya dengan gerakan mahasiswa.
Menempatkan isu politik praktis sebagai basis gerakan akan menjadikan solidaritas gerakan mahasiswa menjadi luntur dan terpecah-pecah. Maka dari itu, gerakan mahasiswa harus kembali pada khitahnya sebagai gerakan moral yang rasional. Jangan sampai gerakan mahasiswa terkooptasi oleh kelompok atau partai politik tertentu. Sebab kalau itu yang terjadi, berarti gerakan mahasiswa telah menggali “kuburnya” sendiri. Tidak ada lagi orang yang percaya dengan gerakan mahasiswa.
Dengan mengambil inspirasi dari sana, maka mahasiswa dapat memulai langkah-langkah sebagai berikut: pertama, melakukan kajian kritis-reflektif terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan. Mereka hendaknya bukan hanya menangkap gejala permukaan, namun lebih pada penyingkapan sesuatu dibalik fenomena. Karena disanalah sebenarnya letak air laut yang nanti harus direkayasa, sementara fenomena hanya ombak dan riak.
Kedua, kekuatan-kekuatan sosial yang sudah tersadarkan harus segera dikonsolidasikan memalui sebuah pengorganisasian yang rapi dan solid. Membangun jaringan dalam konteks ini adalah sebuah keniscayaan. Gerakan mahasiswa jangan sampai megeksklusifkan diri, memisahkan dari elemen sosial lain seperti buruh, petani, pers, organisasi masyarakat maupun LSM. Ketiga, energi masyarakat yang sudah tersadarkan dan terorganisasi dengan baik itu dimuntahkan melalui kerja-kerja sosial yang diinginkan. Tidak harus diorientasikan pada dekonstruksi rezim, namun jika ternyata rezim itu menjadi bukit terjal yang sulit ditapaki, maka tidak ada jalan lain kecuali harus diruntuhkan.
Kedua, kekuatan-kekuatan sosial yang sudah tersadarkan harus segera dikonsolidasikan memalui sebuah pengorganisasian yang rapi dan solid. Membangun jaringan dalam konteks ini adalah sebuah keniscayaan. Gerakan mahasiswa jangan sampai megeksklusifkan diri, memisahkan dari elemen sosial lain seperti buruh, petani, pers, organisasi masyarakat maupun LSM. Ketiga, energi masyarakat yang sudah tersadarkan dan terorganisasi dengan baik itu dimuntahkan melalui kerja-kerja sosial yang diinginkan. Tidak harus diorientasikan pada dekonstruksi rezim, namun jika ternyata rezim itu menjadi bukit terjal yang sulit ditapaki, maka tidak ada jalan lain kecuali harus diruntuhkan.
Keempat, sudah saatnya melupakan perbedaan-perbedaan yang terjadi antara organisasi gerakan mahasiswa, yaitu dengan mencari kesamaan-kesamaan persepsi maupun aksi yang memungkinkan untuk bisa berjalan bersama. Karena semua gerakan mahasiswa apapun bentuknya pasti menolak segala bentuk otoritarianisme, penindasan, ketidak-adailan, dan pembodohan yang dilakukan oleh para pengambil kebijakan (policy maker). Lantas kenapa harus terus berbeda?!
Perlu diingat disini, bahwa gerakan mahasiswa tidak hanya gerakan untuk terjadinya pergantian rezim. Gerakan mahasiswa juga memiliki visi transformasi kerakyatan dan terus menekankan pada aksi “massa” organisasi petani, buruh, kaum miskin kota dan terus menghindari elite politik. Realita ini seharusnya menjadi sugesti bagi mahasiswa untuk tetap memposisikan diri dalam perjuangan dan pembelaan terhadap masyarakat yang tidak diuntungkan oleh sistem yang berlaku, masyarakat yang tertindas dan terpinggirkan (kaum mustadz’afin) yang tidak dapat berbuat apa-apa untuk membebaskan diri dari ketertindasan tersebut.